Jérème Melville Ludwig

Jaeyong One Shot AU

. . .

Hallo, guys. Please excuse if there's any typo errors in this writing post, hehe.

. . .

“Tunggu... kubilang kan batalkan jadwalku untuk 7 hari kedepan,”

“Maaf, Boss, tapi pertemuan ini benar-benar penting,” balas sosok di ujung telepon itu.

Pria tinggi bersurai hitam yang sedang menghadap jendela besar di dalam ruangan kantornya mengeluh rendah. “Nanti saya telfon lagi, usahakan lah tolong gimana caranya supaya 7 hari itu kosong,” pintanya sekali lagi.

Sempat tidak ada balasan dari si lawan bicara, akhirnya menyaut, “Baiklah, Boss. Saya usahakan dulu. Saya juga tidak mau kesempatan besar Anda untuk bertemu pujaan hati kandas lagi dan lagi.”

Lelaki itu tersenyum dan menyampaikan terima kasih sebelum telepon ditutup. Dirinya menatap matahari di atas sana. Sadar bahwa kian waktu berjalan kian siang datang.

“Perasaan tadi masih jam 9, udah tinggi aja nih matahari.”

Sosoknya berbalik badan lalu menyandarkan kepala ke kaca besar sambil bergumam kecil namun cukup terdengar walau samar.

Tidak mau berpikir yang tidak-tidak, yang nantinya membuat suasana hati tidak mendukung kinerja, orang ini pun beranjak dari sisi.

Sambil merapikan dasi yang terpajang indah di leher menuju dadanya, pria itu mengambil kotak makan yang entah berisikan apa, lalu bergegas menuju pintu.

“Siapkan mobil saya sekarang ya, saya ada urusan.”

Tidak butuh waktu lama, dirinya dan mobil merah yang terbilang mewah—sangat mewah, melesat pergi menembus jalanan yang sepi.

. . .

Dirinya sampai di sebuah tempat di bagian barat kota New Betford yang terkenal akan udara keringnya. Iya, dengan plang yang tertancap besar di depan gerbang sana bertuliskan “American Heidelburgh Classical School” menunjukkan bahwa dia berada di sekolah.

“Sekolahnya bagus juga ya,” ucapan kecil keluar dari bibirnya sambil melihat sekitar.

Dia bermaksud menghampiri seseorang yang ia sayangi sepanjang waktu.

Dengan menggenggam kotak bekal merah di tangan kiri, dia melangkah mantap memasuki gedung bercat putih dengan style bangunan yang mengandung neoclassical architecture yang kental.

Ternyata sedang jam istirahat, pantas saja murid berlalu-lalang dengan ramai.

Kedatangannya disambut tatapan banyak orang. Pemilik tatapan itu tidak hanya murid, tapi juga guru dan beberapa staf sekolah yang kebetulan berada di kantin maupun hendak memasuki kantin.

Bagaimana tidak diperhatikan? Dengan tinggi 184 cm ditambah kulit putih pucat yang kontras dengan jas hitamnya, membuat dirinya terlihat, sempurna.

Si pria celingak-celinguk mencari dimana letak kantin khusus guru. Setelah berdiri dan berkeliling akhirnya ketemu. Ternyata letak kantin siswa dan guru berbeda hanya beberapa langkah saja.

Dibawanya melangkah dua kaki panjang berbalut celana dengan bahan mahal ke dalam. Tersusun seirama setiap pijakan yang mendarat ditemani senyum kecil yang berarti.

Ah, tak perlu bersusah payah sosok yang dicari sedang bergurau di sudut kantin dengan enam rekannya.

“Anak itu banyak temannya ya, syukur deh,” batinnya.

Tanpa membuang waktu, dia berjalan menuju meja tersebut. Ketika sampai di sisi kanan meja, tepat di sebelah kanan seseorang berparas indah dunia berambut hitam dengan seragam khas pengajar, dia berdeham.

“Ekhem...”

Tanpa jawaban. Malah hanya orang lain berenam yang melihatnya dengan si tujuan utama masih sibuk memotong sosis bakarnya dan memakannya.

“Ekhem... Permisi,”

Orang itu berpaling ke sumber suara, terkejut, namun dia berhasil mengondisikan mimik wajahnya. “Kau,” katanya kaget.

“Ada apa kau kesini, Tuan kaya raya yang terhormat?” lanjutnya yang kembali makan Nachos berselimut keju setelah sukses menelan sosis yang susah payah dipotong tadi.

“Ngapain kesini? Gabut?” Tanyanya kembali dengan nada tidak bersahabat tanpa repot-repot menengok.

“I never teach you like this before, Tyanne.”

“Oh iya? Anda kan memang tidak pernah mengajarkan saya apa-apa, wajar saya begini,”

“Tyanne Ludwig...”

“Berisik, Anda ganggu saya.” Hardiknya ketus.

Mata sosok yang duduk itu menatap kotak makan yang dibawa lawan bicara.

Tyanne Malveriosa dengan sematan nama terhormat Ludwig di akhir namanya. Iya, dialah milik dari seorang pemimpin perusahaan besar yang kini sedang berdiri menghadapi bentuk marah pasangannya yang sukar ditakluki.

Pasangannya ini sedang marah. Sayangnya, dalam waktu yang sudah lama. Dan sayangnya lagi, sudah ditempuh berbagai cara namun tak kembali juga.

“Kau pulang saja, jangan ganggu saya. Saya juga tidak akan mengganggu Anda dengan sejuta urusan Anda.” Sahutnya sekali lagi. Mungkin sudah geram karena dia sadar semua pasang mata di kepala menatap mereka. Lagi.

Salah satu teman Tyanne bangkit dari kursi dan menghampiri . “Bonjour, Monsieur. Saya Domini. Teman dari Ratu Ludwig ini.”

“Ah, bonjour, Domini. Kamu teman pasangan saya?”

“Oui, Monsieur. Saya berteman dengannya dari tingkat satu sekolah sampai sekarang.” Jawabnya penuh senyum.

Domini menyikut teman sebelahnya lalu memberi kode ke yang lain juga agar berkenalan dengan si kaya raya ini.

“Bonjour, Monsieur. Je m'appelle Renjun*, asli China.”

Yang disalami tersenyum dan sedikit tertawa. “Kw bukan kamu?”

“Haha bisa saja Anda berkata, saya original made in china dan hanya satu,” kelakarnya sukses membuat mereka tertawa.

Mereka, terkecuali Tyanne.

Tyanne mungkin tidak suka jika teman-temannya berbicara dengan pasangannya ini.

Finalnya, manusia gemas itu mendorong Jeremi agar pergi dari sana. Lagi-lagi membuat teman-temannya kaget.

“Ngapain bawa kotak makan? Gue bukan anak kecil! Lo pergi sana, capek gue liat lo!” Jeritnya.

Seisi kantin menghentikan aktivitasnya.

“Ga usah sok peduli bawain makanan segala. Ga usah dateng ke sini. Udah 3 tahun sekolah lo baru datengin gue di sekolah dan cuma buat anter kotak makan ini?!”

“Jeno! Papa ini khawatir sama kamu!”

“Ngapain khawatir? Bisa lo khawatir gue?”

“Jeno!”

“Pergi. Bawa kotak makannya balik. Gue ga sudi.”

Melihat situasi yang makin panas, pria itu memutuskan untuk pergi. “Tapi seenggaknya ambil nak, makan ini, Papa yang buat.”

Anak itu tidak bergeming. Tidak berminat mengambil kotak makan merah ditangan Papanya.

“Ga... Gue ga mau makan,” lirihnya dengan mata merah karena marah.

Ditambah sedikit air yang membasahi bola matanya.

”... lo bukan mama,”

Satu titik air keluar dari ujung matanya.

”... lo bukan kesayangan gue, lo jahat, lo bukan mama.” katanya seraya pergi meninggalkan satu tancapan cukup dalam di hati pria itu.

Anakku, Masih membenciku. Anakku, Lucian Jeno Luedge.