JAE, YONGIE VS THE WORLD
this story is 100% full my imagination not real. with all do respect, I just wanted to make a story based on what happened recently. for those of you who are fighting for peace and justice in our own country, may God bless you.
. . .
JAEYONG ONE SHOT AU
I’m sorry if there’s any typos, I tend to type fast when I’m upset.
. . .
Oktober di Tahun Sengsara
Terik matahari terasa membakar kulit siapapun yang terpapar. Polusi dari beragam sumber tercampur aduk di satu wilayah penuh sesak. Peluh menetes pilu dengan tangan lelah sesekali menyeka jatuhnya.
Kerumunan massa mengisi dan memblokade jalan tidak tanpa tujuan. Bermaksud membebaskan apa yang selama ini dikekang. Berusaha menghentikan dikte demi dikte yang dititah tanpa pikir panjang.
Di posisi depan kumpulan, berdiri seorang pria muda dengan tangan kanan terus memegang lembaran kertas berisikan agenda hari itu. Dirinya yang ditempa rasa letih terlihat bersender di tiang lampu lalu lintas dengan tangan kiri yang disimpan di dalam saku celana jeansnya.
Jae, seorang tangguh yang dipercaya membawa nama kampus, dengan lengan jas almamater yang sedikit ditekuk sampai hampir menyentuh siku, menatap pias hadapan di depannya.
Bukan hanya teman satu almamater saja, namun seluruh mahasiswa yang ada di sini kelelahan. Semua capek, letih, lesu bahkan sampai ada yang ketiduran.
Jae menyeka kembali keringat di dahinya. “Gila, ini yang di dalem gedung ga ada yang mau ketemu kita?” tanyanya kepada sohib di sebelahnya.
“Gatau, tadi sih katanya sorean dikit bakal ada omongan, gatau deh, coba tanya anak lain deh...” jawaban yang terucap tak mampu memuaskan hari Jae sama sekali.
Dirinya mengeram rendah. Capek.
“Jae, lo makan dulu, kondisi lagi gini harus fit, pake hand sanitizer lagi nih!”
“Thanks, John. Tangan gue ledes dah nih kebanyakan pake hand sanitizer gini haha,”
“Kaga lah, kan kita pake ga setiap detik juga,”
Jae tertawa ringan. Tangannya mengambil beberapa gorengan yang dibawa oleh teman-temannya. Jas biru yang tadi dikenakan kini dilepas dan tersampir acak di pundak kirinya.
Trriiinggg... Trriiiinngggg...
Trriiinggg... Trriiiinngggg...
Trriiinggg... Trriiiinngggg...
“JAE BUDEK ITU TELFON MASUK!”
“Lah iya ya gue pikir hape lo yang ditelfon anjir,”
“Sia goblog...”
Salah satu temannya menoyor kepala Jae dengan pelan. Begitulah kalau punya smartphone yang pasaran, kirain telfon kita ternyata telfon orang. Kirain nelfon orang eh ternyata nelfon kita.
Jae bergegas mengambil smartphone miliknya yang sempat terkapar tak berdaya di aspal. Jae mengerjapkan mata beberapa kali. Melihat siapa yang menelfon, senyum terkembang besar di wajah tampannya.
“Cabut dulu bentar, bebeb nelfon!”
“Heh gausah kemana-mana ntar kalo lo dicari—HEH KAMBING MALAH LARI WOI JAE ANJIR KETUA BEM BUCIN MEMANG!”
Sisa orang di sana tertawa melihat tingkah ketuanya yang main pergi dengan tangan memegang bakwan dan mulut minyakan.
. . .
“Doyi, kita ada shift lagi sore kan ya?”
“Iya, Yong. Kenapa?”
“Gapapa, mau istirahat... capek ><”
Yongie, mendudukkan diri dengan tidak santai di bangku ruangan istirahat. Wajahnya menampilkan ekspresi kelelahan. Matanya terpejam dan terus menarik nafas dengan berat.
“Yongie kalo capek tiduran aja, kalo sakit nanti malah bahaya.” ujar Doyi menasehati Yongie yang malah grasak-grusuk di bangku dengan mulut rewel berkata capek berkali-kali.
“Haaa... kasus semakin hari semakin naik, capek ah mau jadi istri orang aja!” dumel Yongie dengan mulut terpaut dan dimanyunkan. Doyi melihat itu terkekeh kecil dan menyentil bibir Yongie.
“Lucu banget sih bayiii~ kalo Yongie nikah juga suami Yongie sekarang lagi turun ke jalan,”
“OHIYA JAE LAGI PANAS-PANASAN TIDAAAK YONGIE HARUS TELFON MAS PACAR!”
“Santai sih Yong, gausah ribet gitu,”
“Gabisaaa... udah kangen ><”
Yongie langsung sibuk mencari barang-barang pribadi miliknya. Salahkan Yongie sendiri yang kebiasaan asal taruh barang dengan sembarangan.
“Ah ini dia!”
Tanpa pikir panjang, Yongie menelfon sosok yang mengisi hatinya tanpa mempedulikan manusia yang sedari tadi menatapnya heran.
. . .
Detik kelima dering hp yang teredam suara bising lingkungan terhenti. Diangkatnya panggilan tersebut dan tersambutlah sapaan lembut di seberang sana.
Satu kata “Halo, Mas?” yang mengguncang satu dunianya.
“Hi cakep, lagi apa?” ucapan gombal Jae menghasilkan reaksi cekikikan kecil di sana.
“Aku lagi duduk, terus tiduran di lantai...”
“Hah kok tidurannya di lantai, By?”
“Iya capek abisnya, enak boboan di lantai hehe~ Mas pacar di sana udah mam belum?”
“Haha, udah nih... tadi pagi makan nasi uduk Bi Imah deket rumah itu loh, terus barusan makan bakwan, ini bakwannya aja masih ada satu di tangan kiri,”
“Ih Jae makannya bakwan aja?”
Mendengar suara kekasihnya yang seperti hendak menangis, Jae langsung menyanggah hal buruk dipikiran Yongie. “Ga kok, Jae makan banyak sumpah Yongie ga usah khawatir Jae di sini aman makanan banyak melimpah,”
Yongie ber-oh ria. Kali ini suara sedikit rusuh terdengar di posisi Yongie. Jae mendengarnya hanya menerbitkan senyum kecil.
Pasti lagi cari barang, kebiasaan teledor. Batinnya.
Tidak terlalu lama ada jeda, kini Yongie hadir kembali di pendengaran Jae.
“Tadi aku cari liptint aku gelinding ke bawah meja, hehe,”
“Kamu kebiasaan deh,”
“Di sana gimana kondisinya, sayang? Lancar? Aman? Kondusif?”
Jae yang kini duduk bersila dan dengan rileks menyenderkan punggung ke beton penyangga jembatan, menjawab pertanyaan sang pacar dengan jelas.
Yongie, pacarnya Jae, yang sedang tugas membantu di Rumah Sakit, memang tipe orang yang harus dijelaskan secara panjang dan jelas. Kalau tidak, dia akan khawatir berlebihan dan menangis. Karena itu, Jae menunda melahap bakwan terakhir di tangannya dan lebih memilih menjelaskan keadaan lapangan ke Yongie.
Kisah mereka berdua ini lucu. Bukan hanya orang lain yang berkata, namun Jae sendiri setuju. Posisi Yongie yang dua tahun lebih tua darinya tidak membuat manusia dengan kegemasan tingkat akhir itu lebih dewasa. Justru sebaliknya.
Yongie yang sering tertawa akan hal kecil. Yongie yang penakut dengan hal remeh. Yongie yang kerjaannya ngedumelin banyak hal. Yongie yang gamau kena panas. Yongie yang selalu marah-marah kalau Jae jajan sembarangan tapi ujung-ujungnya minta malah ngabisin jajanan itu. Yongie yang manggil Jae dengan sebutan 'mas pacar'. Yongie yang sering nelfon cuma untuk menyampaikan kata-kata random kayak kenapa Jae ganteng soalnya Jae ganteng. Kalian ga ngerti kan? Sama Jae juga.
Tapi gapapa... Jae suka.
Obrolan mereka cukup memakan waktu lama. Orang yang hilir mudik di sekitaran Jae tidak mengganggu waktunya bersama Yongie.
Kerumunan manusia yang tadi duduk-duduk manja, kini terlihat bangun dan hendak pergi. Jae melihat itu heran. Terdengar mahasiswa saling bertanya ada apa ke satu sama lain.
Sayup-sayup terdengar juga, nama Jae dipanggil dengan teriakkan oleh teman-temannya. “JAE, KETUA BEM UDAH NGUMPUL BURUUUUUU!!!”
Jae mengarahkan jempolnya ke mereka lalu kembali ke pacarnya.
“Yongie,”
“Apa mas ganteng?”
“Kkk... Aku mau ngomong, kamu dengerin ya,”
Jae membetulkan posisinya. Dia bangkit dari duduk dan menepuk pelan pakaiannya yang terkena kotor jalanan. Dirinya melihat layar yang menampilkan wajah manis pacarnya ini. Tersenyum ringan, Jae melanjutkan bicaranya.
“Yongie... Pacar Jae. Kangen banget sama Yongie, udah hampir 3 minggu kita gabisa ketemu karena kesibukan masing-masing. Yongie di RS baik-baik ya, jaga kesehatan, perangi virus di sana. Jae di sini perjuangin hak kita juga. Hak rakyar negara kita. Kita sama-sama berjuang dengan musuh. Yongie jangan drop, nanti yang perangin musuhnya siapa? Nanti bukan pasiennya yang sembuh Yongie malah ikutan sakit kayak mereka...”
Jae berlari kecil menghampiri kawanan satu almamaternya. Dengan sedikit kerepotan memakai kembali jas almamaternya.
“Kita sama-sama ya, Yong. Selesaikan kewajiban kita dulu, nanti kalau semua udah selesai kita bisa bareng-bareng lagi deh,”
“Hiks... Janji ya?”
Ah tidak. Yongie-nya menangis. Jae menjadi terganggu hatinya. Lari kecilnya kini terhenti sebentar.
“Janji. Nanti aku bawa kamu ke Dufan deh,”
Dilihatnya layar itu kembali, lalu dipandang sejenak. Walaupun mereka tidak video call, namun hal itu sudah cukup. Jae juga tidak bisa membiarkan Yongie melihat dirinya yang kucel penuh debu dan keringat. Yang ada Yongie ngedumel dari sabang sampai merauke dan Jae akan di bawa ke klinik kecantikan langganan Yongie.
Sambil merapikan rambutnya, Jae berlari kecil kembali. Namun kali ini lebih ke jalan cepat.
Mahasiswa di sekitarannya sudah mulai bangkit kembali. Terlihat ramai di ujung sana.
“Aku hilang dulu ya, nanti aku kabarin kamu lagi...”
Jaehyun mendengar isakan kecil Yongie yang tidak mau memutuskan telfonnya.
“Aku janji aku kabarin kamu lagi kok Yongie cantik pacar Jae—”
pip
. . .
pip
Yongie berhalo-halo ria pada smartphone yang digenggamnya erat. Matanya mengerjap pelan dan lambat.
Telfon terputus satu pihak. Karena jatuh dengan pemiliknya yang entah kemana. Tepat sebelum suara “Awas!” dan dentuman yang menjadi luka dalam mengelimuti pusat Jakarta hari itu.