He is My Cupid
. . .
Jaeyong Au
by stradirosemary
. . .
Cerita ini kubuat dengan ide cerita mengikuti kisah Dewa Dewi Olympus tentunya dengan berbagai perubahan agar sesuai dengan kemauan. Jadi jangan marah ya.
. . .
Cupid.
Apa yang kita tau mengenai sosok Cupid? Sejatinya, tidak semua makhluk di muka bumi ini bisa melihat sosoknya. Hanya segelintir orang yang tidak sengaja berjumpa dalam keadaannya yang menjadi manusia.
Siapa yang tidak kenal Cupid? Seorang yang agung, Dewa Cinta. Dari penjelasan singkat ini saja bisa diyakinkan kalau orang-orang berpikir bahwa sosoknya sangat lembut dan penuh romansa. Memang tidak salah juga, sih.
Cupid, adalah seorang Dewa terhitung dalam tingkatan tertinggi. Dirinya termasuk dewa petinggi di Olympus. Seharusnya, suara dan pendapatnya juga selalu terhitung pada setiap pertemuan.
Apa yang salah dari bercanda? Itu yang dipikirkan seorang Cupid. Dirinya terkenal nakal. Cupid sering kali pergi tanpa sepengetahuan ibunya. Berkelana mencari-cari entah apa tidak ada yang tau. Atau mungkin mengisi waktu saat tidak ada tugas yang diberikan?
Pergerakan Cupid terbatas. Dirinya di bawah pengawasan penuh sang Ibu. Padahal sekali lagi, dia hanya ingin berkelana berkeliling tanpa niat yang buruk. Memang sekali di cap buruk dan nakal, akan susah menghilangkannya.
Hari ini, Dewa Cinta ini sedang berdiam di kamarnya. Padahal dia harus menghadiri pertemuan dengan kelompok orang pecinta wanita dengan rambut berwarna. Memang aneh seleranya.
Terlihat pria tersebut memainkan busurnya, menarik-narik tanpa tenaga. Hah... ternyata melelahkan juga hanya berdiam diri di sangkar begini. Bagaimana rasanya jadi burung emas Zeus? Hidupnya dikurung sampai mati lalu lahir kembali dan kembali mati lagi.
Tok tok tok
Kegiatan tidak jelasnya terhenti karena pintu besarnya diketuk dari luar.
“Hey pria, aku tau dirimu luar biasa sempurna. Tapi pakailah baju! Kau ini Dewa Cinta atau Dewa Telanjang, sih?”
Seru seseorang dengan kain suta terlampir indah berhias bunga mawar emas berukuran kecil tertabur di bagian tepi. Dirinya kini menatap si Dewa dengan perasaan sebal.
Cupid yang mendengarnya lantas memutar mata malas. “Kau hanya takut tergoda tubuhku yang Indah ini, Marka.”
Yang mendengar sahutan hanya tertawa ringan. Dibukanya pintu besar itu, dan terlihat ada sosok lain yang juga rupawan. Ya walaupun kadar kesempurnaan yang dimiliki Cupid masih jauh lebih tinggi.
Marka, si makhluk Tuhan dengan garis wajah yang tidak perlu ditanya rupanya, membawa segulung kertas dengan benang perak mengikat. Benang perak adalah benang identitas resmi milik Ibunya.
“Pesan dari Ibu?”
“Ya. Entah isinya apa.”
“Kenapa tidak kau buka?”
Marka ingin rasanya menjitak Dewa yang sayangnya bodoh di depannya ini. “Kalau kubuka paksa maka selesai sudah hidupku,” kekehnya. “Nih, ambil. Aku ini lama-lama merangkap jadi si pengantar pesan, hah.”
Cupid terkekeh kecil dan langsung mengambil kertas tersebut dan membukanya. Asal kalian tau, benang tersebut tidak bisa dibuka jika bukan dengan tangan orang yang dituju. Jika dipaksa, benang tersebut akan menusuk masuk ke kulit dan memberikan kutukan mematikan yang mengalir melalui setiap tarikan nafasmu. Jangan ditanya efeknya, perlu ditunjukkan jurang berisi mayat pengkhianat pesan di timur negeri Yunani?
“Kau disuruh menghadap ke Ibumu?”
“Di dalamnya sih berisi pesan begitu,”
Cupid kembali menggulung pesan tersebut dan melempar ke udara lepas. Tanpa butuh jeda lama, dia panah pesan tersebut dan seketika kertas tadi terbakar dan berubah menjadi percikan api kecil, menghilang lenyap begitu saja.
“Jaehyun Yang Terhormat, kau membuat masalah?”
Marka bertanya dengan pelan. Marka cukup mengenal dekat sosok di depannya ini. Dewa Cupid. Dewa Cinta. Anak lelaki dari Dewa Cinta dan Kecantikan. Jaehyun namanya.
Jaehyun memang nakal, namun Marka tahu betul bahwa tidak akan mungkin tingkat kenakalan seseorang ini sampai dibalas dengan pesan resmi bersegel benang sialan itu.
Jaehyun menatap malas putra kebanggaan penghuni samudera ini. “Apakah yang melintas di pikiranmu hanya diriku yang nakal? Kau lebih baik turun ke bumi dan mandi di lautanmu yang tidak pernah dikuras itu, Marka.”
“Hey! Kalau lautku dibersihkan, kesuciannya malah menghilang. Segel-segel keamanannya akan pudar. Kau ya selain nakal juga bodoh, hanya cinta orang lain saja yang kau kerjakan tapi diri sendiri terabaikan,”
“Bilang saja kau tak mampu karena lautmu sangat luas,”
“Sebagai seorang anak Dewi kau sangat buruk untuk emosi orang lain,”
“Kau tau, sebagai salah satu putra Poseidon, kau sangat bawel,”
“Kau bodoh,”
“Tidak seburuk bawel,”
Dan rentetan ejekan lainnya terdengar hingga tetes pasir terakhir di siang hari terjatuh, menunggu sang Dewa membalikkan jam pasirnya.
. . .